Pemuda Subha menghadap Sang Buddha untuk menanyakan perbedaan nyata di antara umat manusia, "Apakah alasannya dan sebabnya, o Guru, kita jumpai di antara umat manusia ada yang berumur pendek dan berumur panjang, berpenyakit dan sehat, jelek dan rupawan , tak berpengaruh dan berpengaruh, miskin dan kaya, hina dan mulia, dungu dan bijaksana."
Sang Buddha bersabda : "Semua mahluk hidup mempunyai karma sebagai milik mereka, warisan mereka, sebab awal mereka, kerabat mereka, pelindung mereka. Karma itulah yang membedakan makhluk hidup dalam keadaan rendah atau tinggi." (Majjhima Nikaya, Cullakammavibhanga Sutta, 135)
Membaca uraian di atas tentang karma seolah-olah mencerminkan bahwa manusia itu haruslah pasrah dan menerima keadaan hidupnya. Di satu sisi memang mencerminkan kenyataan tersebut, namun dalam sudut pandang yang optimis, tidaklah seharusnya demikian. Sebagai manusia duniawi [prthagjana/puthujjana] , tentunya sangat sulit untuk kita dapat seluruhnya terbebas dari suatu perbuatan baik ataupun buruk. Meskipun kita merupakan tuan dari karma kita sendiri tetapi terbukti bahwa adanya faktor yang meniadakan atau yang menunjang berbuahnya karma yang dapat juga dipengaruhi oleh keadaan luar, lingkungan, kebiasaan, usaha yang tekun dan konsentrasi pikiran yang baik.
Dalam kehidupan Buddha Gautama juga tercatat banyak penjahat dan bahkan pelacur yang karena `dicerahkan' oleh Yang Telah Tercerahkan, maka seketika dapat mencapai tingkat kesucian batin tertentu.
Sang Buddha mencerahkan Angulimala, seorang perampok jalanan dan pembunuh yang mempunyai hobby koleksi kelingking manusia yang dibunuhnya, pada suatu saat bertemu Sang Buddha dan bermaksud menggenapkan koleksinya menjadi 1000 buah. Maka diapun menghadang Sang Buddha dan bermaksud membunuhNya. Angulimala yang terkenal lincah dalam bergerak, tetap tidak bisa menyentuh tubuh Sang Buddha yang kelihatan sama sekali tidak bergeming. Karena kecapaian, akhirnya Angulimala bertanya kenapa Sang Buddha bisa bergerak begitu cepat, yang oleh Sang Buddha dijawab, "Wahai Angulimala, Aku sudah daritadi tidak bergerak, engkaulah yang masih terus bergerak." Angulimala yang mendengarkan perkataan Sang Buddha ini akhirnya berubah seketika dan menjadi pengikut Sang Buddha yang mampu mencapai tingkat Arahat.
Alavaka, setan yang kejam yang hobby memakan daging manusia, sesudah bertemu Sang Buddha dapat menghentikan kebiasaan memakan daging dan mencapai tingkat kesucian pertama.
Ambapali, seorang pelacur dapat terbersihkan pembawaannya setelah bertemu Sang Buddha dan mencapai tingkat Arahat.
Contoh-contoh tersebut di atas memperlihatkan bahwa betapa besarnya Kasih Sayang seorang Yang Telah Tercerahkan, mampu membimbing dan memberikan "Pencerahan Seketika" kepada setiap makhluk hidup . Dalam tradisi Buddhisme Tantrayana/Vajrayana Tibet dan beberapa aliran spiritual yang diturunkan dari India oleh para Satguru, menganut hubungan spiritual guru dan murid, juga dipercayai adanya kemampuan seorang guru Yang Telah Tercerahkan untuk menciptakan kondisi, menarik atau mematangkan karma perintang seorang murid yang terakumulasi dari kehidupan sebelumnya, dengan tujuan agar murid bersangkutan tidak mengalami rintangan karma dalam kehidupan spiritualnya saat ini untuk mencapai pencerahan. Ajaran Sang Buddha yang bersifat esoterik (rahasia) sebagaimana yang dianut oleh tradisi Buddhisme Tantrayana/Vajrayana memungkinkan hal ini dilakukan, baik melalui suatu upacara pengangkatan (inisiasi) hubungan guru dan murid ataupun melalui cara meditasi dan pembacaan mantra. Terlepas dari itu semua, kepercayaan [sraddha/saddha] tetap memegang peranan penting.
Proses Bekerjanya Karma
Memang proses bekerjanya karma tidak dapat kita amati atau dibuktikan secara ilmiah, namun prinsip bahwa kita akan menuai sesuai dengan apa yang kita tanam itulah yang penting untuk kita renungkan. Proses bekerjanya karma hanyalah dapat dipahami sepenuhnya oleh seorang Buddha atau Yang Telah Tercerahkan.
Untuk mengetahui karma dari kelahiran kita sebelumnya, maka renungkanlah berbagai kejadian baik berupa penderitaan [dukkha] ataupun kebahagiaan [sukkha] yang menimpa kita dalam kehidupan saat ini. Sehingga kita tidak tersudut ke dalam suatu kondisi dimana kita harus mencela orang lain sewaktu menderita ataupun terlalu menjunjung orang lain sewaktu kita berbahagia. Karma yang berbuah dalam kehidupan ini apakah menghasilkan kebahagiaan ataupun penderitaan haruslah kita syukuri sebagai makin berkurangnya timbunan karma kita sehingga makin terbukalah peluang untuk kita keluar dari arus kelahiran dan kematian. Namun demikian kitapun tidak perlu terjebak pada sikap pesimistik dengan menyalahkan kehidupan sebelumnya yang menciptakan karma buruk pada kehidupan saat ini karena Buddhisme tidak mengajarkan fatalisme yaitu suatu sikap yang menyalahkan segala sesuatu kejadian sebagai kodrat, takdir ataupun nasib. Buddhisme mengajarkan suatu tuntunan buat kita untuk melihat kehidupan saat ini sebagai alam kehidupan yang memungkinkan manusia untuk berlatih diri keluar dari lingkaran kehidupan dan kematian.
Untuk memahami kondisi bekerjanya karma sebagai suatu Hukum Sebab Akibat, kita dapat memulainya dengan mengenali adanya hukum yang bekerja di alam semesta ini. Dalam Abhidhamma Vatara 54, dan Dighanikaya Atthakatha II-432, dapat ditemui adanya Lima Hukum Alam [Pancaniyama Dhamma], yaitu:
1. Utu Niyama, yaitu hukum sebab-akibat yang berkaitan dengan suhu, contohnya gejala timbulnya angin dan hujan, bergantinya musim, perubahan iklim, sifat panas, dan sebagainya.
2. Bija Niyama, yaitu hukum sebab-akibat mengenai biji-bijian, contohnya sesawi berasal dari biji sesawi, gula berasal dari tebu, dan sebagainya.
3. Karma Niyama [Kamma Niyama], yaitu hukum sebab-akibat yang berkaitan dengan perbuatan, contohnya perbuatan baik akan menghasilkan akibat baik, dan perbuatan buruk akan menghasilkan akibat buruk.
4. Citta Niyama, yaitu hukum sebab-akibat yang berkiatan dengan hasil pikiran, misalnya proses kesadaran, timbul dan lenyapnya kesadaran, sifat kesadaran, kekuatan batin, telepati, kemampuan membaca pikiran orang lain, kemampuan mengingat hal-hal yang telah terjadi, dan sebagainya.
5. Dharma Niyama [Dhamma Niyama], yaitu hukum sebab-akibat yang berkaitan dengan gravitasi, berupa gejala alam yang menandai akan terlahirnya atau meninggalnya seorang Bodhisattva ataupun seorang Buddha.
Hukum Karma [Kamma Niyama] merupakan salah satu dari Hukum Alam tersebutdi atas yang terjadi karena prinsip Hukum Sebab dan Akibat, dimana setiap suka ataupun duka pasti ada penyebabnya. Tiada sebab maka tiada akibat. Segala penderitaan akan dapat dihindari apabila dapat diketahui sebabnya. Penyebab tunggal dari segala bentuk penderitaan adalah kemelekatan terhadap nafsu keinginan duniawi.
Terdapat cukup banyak cara menggolongkan Hukum Karma, dan berikut disampaikan beberapa jenis penggolongan Hukum Karma tersebut.
Menurut masa berlakunya, dapat diurut sebagai berikut :
1. Karma yang berlaku segera [ditthadhammavedaniya kamma]
2. Karma yang berlaku sesudahnya [upapajjavedaniya kamma]
3. Karma yang berlaku untuk jangka waktu tidak terbatas [aparapariyavedaniya kamma]
4. Karma yang kadaluarsa [ahosi kamma]
Menurut fungsinya [kicca] karma, maka dapat digolongkan atas :
1. Karma penghasil [janaka kamma]
2. Karma penunjang [upatthambaka kamma]
3. Karma pelemah [upapidaka kamma]
4. Karma penghancur [upaghataka kamma]
Sedangkan penggolongan karma menurut urutan akibatnya [vipakadanavasena], dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Karma yang berat [garuka kamma]
2. Karma menjelang kematian [asanna kamma]
3. Karma kebiasaan [acinna kamma]
4. Karma yang bertimbun [katatta kamma]
Beberapa perbuatan berikut akan menghasilkan karma baik:
1. Selalu bersifat kedermawanan [dana]
2. Menjaga moralitas yang baik [sila]
3. Senantiasa melakukan meditasi [bhavana]
4. Melakukan penghormatan [apacayana]
5. Pengabdian yang mendalam [veyyavacca]
6. Senantiasa mengirim jasa kepada makhluk yang menderita [pattidana]
7. Berbahagia atas perbuatan baik dari pihak lain [anumodana]
8. Mendengarkan Dharma [dhammasavana]
9. Membabarkan Dharma [dhammadesana]
10.Meluruskan pandangan salah [ditthijjukamma]
Sebagai Buddhis yang mempercayai hukum karma maka kita tidak perlu mencela orang lain yang melakukan perbuatan paling jahat sekalipun, karena selain mereka juga akan memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, juga mereka tidak akan dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya sendiri.
Sang Buddha bersabda : " Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun, juga dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya" (Dhammapada, 127)
Apakah Kita Harus Pasrah Terhadap Karma

Bookmark the permalink.